FPTK UPI Selenggarakan Training of Trainers (TOT) LLN (Language, Literacy, and Numerical)

03 August, 2020
43

Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan kegiatan Training of Trainers (TOT) LLN (Language, Literacy, and Numerical) dan ES (Employability Skill) dalam Pendidikan Teknologi Kejuruan secara daring menggunakan aplikasi zoom meeting (22, 24/7/2020).

Kegiatan ToT ini dibagi dalam 2 hari. Hari pertama dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2020 dengan jumlah peserta sebanyak 52 peserta. Hari kedua dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2020 dengan jumlah peserta sebanyak 47 peserta. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FPTK, Dr. Ana, S.Pd., M.Pd., serta dihadiri oleh Para Ketua Program Studi S1 Kependidikan, Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Kesatu UPI, Sekretaris Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Kesatu UPI serta para Dosen Muda di lingkungan FPTK UPI. Pemateri kegiatan tersebut adalah Bapak Hendry Himawan Wijaya, Lead Asesor Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dengan moderator adalah dosen baru dari Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur, Ana Ramdani Sari, S.Pd., M.Plan.


Materi ToT
Dunia Pendidikan Indonesia saat ini familiar dengan istilah-istilah seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK); yang mana pada implementasinya banyak didasarkan pada technical skill atau hard skill. Namun, selain technical skill tersebut, terdapat kemampuan dasar yang dianggap penting namun masih terbilang baru dalam Pendidikan Indonesia yaitu foundation skill yang terdiri dari kemampuan bahasa/oral, membaca komprehensif, dan numerical atau berhitung.

Selain itu, Pendidikan Vokasi pada khususnya banyak didasarkan pada Pedagogi (teori) dan melupakan roh dari Pendidikan vokasi itu sendiri yaitu Employability Skill yang biasa kita sebut dengan keterampilan kerja atau Andragogy. Sebenarnya, keterampilan kerja ini telah tercantum dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) 2005 dalam tujuh kompetensi Kunci yang merupakan turunan dari sistem Pendidikan vokasi Australia (BEZ australia 1998) Permen 2012. Dikarenakan adanya keterbatasan dalam penerjemahan 7 kompetensi kunci tersebut ke dalam Pendidikan vokasi; standar kompetensi kerja kemudian dirubah menjadi standar kompetensi saja.


Indonesia sendiri memiliki dua Undang-Undang berbeda yang mengatur sistem Pendidikan dan sistem Pendidikan vokasi yaitu, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No, 13 tahun 2003 entang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Hal ini dianggap tepat karena kedua sistem Pendidikan ini memiliki karakteristik yang berbeda. Pada kenyataannya, sistem Pendidikan vokasi masih memerlukan banyak perbaikan karena Pendidikan kejuruan masih menitikberatkan pada Pedagogi (Ilmu/teori) yang banyak dipakai di ilmu nurni dibandingkan Andragogy (Employability Skill) yang lebih dibutuhkan pada pendidikan vokasi.

Dengan adanya Centre of Exellence (CoE) UPI, FPTK dengan bantuan Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) diharapkan dapat memulai Langkah perbaikan Pendidikan vokasi dengan mengembalikan roh pendidikan vokasi pada keterampilan kerja. Maka dari itu; perlu adanya persamaan persepsi dan modifikasi kurikulum pada Pendidikan vokasi di FPTK untuk mempersiapkan lulusan Pendidikan (S.Pd.) khususnya dari FPTK siap untuk menjadi pendidik di sekolah kejuruan. Salah satu caranya adalah dengan penerapan LLN (Language, Literacy, and Numerical) dan ES (Employability Skill) di FPTK; terutama dengan pelatihan dosen-dosen muda FPTK yang kelak akan menjalankan CoE.

Sebagai permulaan, kita dapat membandingkan implementasi LLN di Australia sebagai standar/benchmark dalam menilai kompetensi seseorang dalam bidang tertentu. Setiap profesi biasanya akan memiliki level LLN yang berbeda, sesuai dengan ranah pekerjaan yang dilakukan. Misalnya untuk menjadi seorang teknisi elektronika, sesorang harus memiliki kompetensi yang lebih tinggi dalam literacy (komprehensi dalam membaca) dan numeracy (berhitung) dibandingkan seorang koki. Dalam profesi yang sama pun; kompetensi yang harus dimiliki bisa berbeda. Contohnya kompetensi oral untuk guru SMK pemasaran akan lebih tinggi dibandingkan dengan guru music atau multimedia. Diharapkan, lulusan S.Pd. akan memiliki standar pengukuran seperti ini sesuai dengan bidang masing-masing. Sebagai tindak lanjut, hal ini akan didukung dengan adanya Kerjasama dengan HS Business School and MTO Group Pty Ltd Australia untuk mendapat izin dalam mengadopsi LLN Australia yang diwadahi oleh CoE UPI.

Dalam menentukan kompetensi guru; terdapat beberapa tingkatan guru yang memiliki kapasitas yang berbeda-beda; dimulai dari guru pemula yang memiliki kompetensi terendah di bawah sarjana Pendidikan hingga guru expert dengan bertahun-tahun pengalaman kerja; walaupun pada hakitatnya semua guru memiliki tugas utama untuk mengajar. Tingkatan ini juga yang dapat mempengaruhi kenaikan standar LLN dan ES dalam setiap tingkatan. Penilaian standar kompetensi/grading pun juga dipengaruhi dari kebutuhan industry terkait. Untuk menentukan penilaian/grading; perlu dilakukan pemetaan kompetensi dalam setiap aspek LLN dan ES dari skor 1-5. Tindakan yang kemudian harus dilakukan sebagai tindak lanjut adalah untuk menentukan tes berdasarkan kompetensi dan grading tersebut secara detail; terutama dengan bantuan para dosen muda FPTK. Tes Kompetensi LLN dan ES ini kemudian akan dijabarkan Kembali dengan spesifik sesuai dengan bidang/industry/pekerjaan yang dilakukan; agar penilaiannya akan lebih mudah dan terpakai di industry. Hasil dari tes tersebut dapat menentukan di level mana seseorang dalam dunia kerja; apakah ia siap untuk dilatih atau siap untuk bekerja. Harapannya LLN dan ES dapat menjembatani kebutuhan industry dengan tenaga kerja.

LLN sendiri secara detail terdiri dari lima aspek yaitu, learning (kemampuan belajar), reading (kemampuan membaca komprehensif), writing (kemampuan menulis), oral communication (kemampuan oral/bicara) dan numeracy (kemampuan berhitung). Seluruhnya memiliki 5 level yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atas Kerjasama antara PT Inti, UPI dan LSK.

Dalam tes kompetensi, penting pula untuk menerapkan employability skill dalam pembelajaran maupun dalam tes kompetensi yang didasari oleh foundation skill seseorang sesuai kapasitasnya. Namun, untuk dapat mewujudkan hal itu; standar-standar foundation skill tersebut harus diterjemahkan dengan sederhana dan spesifik dalam tes dan pembelajaran sehingga mudah dipahami dan tidak serta merta dihapuskan jika ada kesulitan dalam penilaian maupun bahasan spesifik dalam pembelajaran. Hal-hal tersebut harus dibudayakan termasuk dalam pembelajaran sehari-hari; misalnya dengan disiplin waktu dalam mengerjakan sesuatu dan kemandirian dalam belajar.

LLN dan ES ini sebenarnya dapat menjadi pengunci agar tidak ada lagi disparitas keterampilan kerja dengan sertifikat kompetensi yang dimiliki seseorang, sehingga kecurangan dan ketidak-seragaman standar dalam pemberian sertifikat kompetensi dapat dihindari. Di Australia, dimana kita mengadopsi sistem ini pun terdapat disparitas tertama pada beberapa bidang seperti elektronika. Diharapkan Kerjasama UPI, LSK dan Lembaga training Australia dapat menjadi peluang kontribusi UPI untuk mengisi kekosongan tersebut agar terjadi hubungan timbal balik dan kredibilitas UPI meningkat.

FPTK memiliki program dengan LSK untuk menerbitkan sertifikat kompetensi bagi lead asesor dan lead trainer; dimana dananya sudah tersedia dari dua tahun yang lalu. Sertifikat ini dapat diperoleh baik dengan mendaftar secara pribadi maupun didanai oleh institusi masing-masing. Secara hak milik intelektual, kompetensi ini disetarakan dengan materi di Australia dan dijembatani oleh penggunaan Intellectual Property (IP) dari MTO Austalia, namun untuk diakui di Australia peserta harus melakukan tes kembali untuk mendapatkan sertifikasi internasional dari Australian Skill Quality Authority (ASQA).

Didasari dengan terbitnya UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional; Pendidikan vokasi mengalami perubahan. Salah satu diantaranya adalah perubahan rasio 70:30 antara SMK dan SMA. Hal ini yang menyebabkan banyaknya guru-guru SMA yang tidak dipersiapkan untuk mengajar hal-hal teknis dalam kejuruan untuk mengajar di SMK sehingga menghilangkan roh vokasi dalam Pendidikan di SMK. Kemudian dilahirkan juga Peraturan Pemerintah No, 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI yang mneyebutkan bahwa lulusan SMA berada pada level 2 dalam KKNI, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai lulusan SMK. Penjabaran kualifikasinya mengacu pada level kualifikasi Australia karena KKNI sendiri merupakan tindfak lanjut dari kegiatan yang diselenggarakan oleh Australia-Indonesia Skill Partnership Development (AISPD) (lahirnya BNSP). Di Australia, tidak dikenal adanya SMK, namun lulusan sekolah menengah dapat mengambil jalur vokasi dimana Ketika lulus mereka akan mendapatkan level kualifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan SMK di Indonesia. PP No, 8 Tahun 2012 bahkan menghapus Employability Skill (kompetensi keterampilan kerja) yang semula ada pada sistem pendidikan dan dirubah menjadi kompetensi saja. Adapun kompetensi kerja pada akhirnya hanya dinauingi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Sistem Latihan Kerja Nasional (Sislakernas).

Seminar kemudian dilanjutkan dengan mengamati sistem pelatihan-pelatihan yang terdapat di www.training.gov.au. Dalam sesi ini; dengan adanya partisipasi aktif dari para peserta; dibahas beberapa bidang yang berhubungan dengan prodi-prodi yang ada di FPTK misalnya Pendidikan dan pelatihan (Training and Education); Bisnis (Business in Education); tata boga (cookery, food industry, patisserie); tata rias (beauty), tata busana (fashion design and production) arsitektur (design dan drafting) dan elektronika. Setiap bidang memiliki level yang berbeda dengan kebutuhan keterampilan yang berbeda; namun secara general terdapat fleksibilitas dalam training/Pendidikan kejuruan di Australia dimana siswa dapat memilikih unit kompetensi yang berasal dari bidang lain sehingga set skill yang mereka miliki menjadi beragam dan spesifik dalam industry.

Sertifikasi kompetensi berbasis LLN dan ES ini kemudian diharapkan dapat dibentuk dengan Kerjasama antara UPI, LSK, dan BUMN pada bidang terkait dengan CoE UPI yang bertindak sebagai Quality Control. Kelanjutan dari kegiatan ini adalah dengan membentuk tim dosen muda bersama dengan Pak Hendry dari LSK untuk membahas mengenai implementasi LLN dan ES dalam kurikulum kejuruan di FPTK juga untuk menjadi Internasional asesor untuk bidang Pendidikan. Agar mengetahui lebih dalam mengenai sertifikasi kompetensi antara Australia dan Indonesia; peserta diminta untuk mencari dokumen tentang Australian Qualification Framework (AQF) yang mendefinisikan level-level kompetensi dan membandingkan dengan KKNI dengan kata kunci tugas, tanggungjawab dan pengetahuan.

Salah satu pertanyaan yang muncul dalam sesi diskusi adalah mengenai angka pengangguran lulusan SMK yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan adanya disparitas skill antara lulusan yang memiliki keterampilan tinggi dan rendah. Sebagian kecil lulusan SMK yang memiliki kompetensi tinggi sebenarnya tidak memiliki kesulitan dalam memperoleh pekerjaan maupun menjadi wirausahawan dengan skill yang mereka miliki; yang mana juga akan menjadikan penghasilan mereka bertambah secara gradual. Selain itu, dikarenakan adanya tuntutan untuk meluluskan siswa dari berbagai pihak; para guru cenderung menurunkan standar kompetensi yang harus dimiliki siswa SMK untuk mencapai angka kelulusan tertentu dibandingkan dengan hanya meluluskan orang-orang yang dianggap memenuhi standar kompetensi. (ARS/YR)